Selama satu abad setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka, pada tahun 1953 merupakan awal Bank Indonesia didirikan untuk menggantikan fungsi serta peranan dari De Javasce Bank yang merupakan bank peninggalan pada masa penjajahan Belanda saat itu. Bank Indonesia yang merupakan bank sentral memiliki tugas baru selain untuk mencetak dan mengedarkan uang kepada masyarakat, bank Indonesia juga memiliki fungsi lain yaitu dalam bidang perbankan, moneter serta pengaturan sistem pembayaran yang di berlakukan oleh pemerintahan pada masa itu.
Setelah Indonesia mengalami krisis moneter yang berhasil melumpuhkan perekonomian di tahun 1999, maka Bank Indonesia memasuki era baru dalam sejarahnya yaitu sebagai bank sentral independen yang mengemban tugas dan memiliki wewenang dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Keseluruhan tugas tersebut telah tercantum dalam ketetapan undang-undang No.23 Tahun 1999. Dengan status tersebut, maka Bank Indonesia tidak boleh di intervensi oleh pihak manapun dan dalam bentuk apapun. karena Kedudukan BI sebagai bank yang independen tersebut sangat diperlukan sehingga mampu melakukan kewenangannya dalam pelaksanaan fungsi serta peranannya sebagai otoritas moneter secara maksimal dan paripurna.
Daftar Isi
Sejarah Lengkap Bank Indonesia
Sejarah Bank Indonesia
Dulunya dikenal dengan De Javasche Bank yaitu bank sentral pertama zaman Hindia Belanda atau Indonesia yang dibentuk pada dekade kedua abad 19 semasa kependudukan Belanda. Dilansir dari arsip Museum Bank Indonesia, bahwa kondisi perekonomian Hindia Belanda saat itu tidak teratur karena belum adanya regulasi mengenai pembayaran yang tertib melalui lembaga bank. Selain itu, banyak dari kalangan pengusaha di Batavia yang mendesak kepada pemerintah kolonial agar segera didirikan sebuah lembaga bank sirkulasi yang bersifat sentral untuk memenuhi serta memudahkan kepentingan bisnis mereka.
Baca juga : Sejarah Kota Bandung
Berbagai alasan dan juga banyaknya desakan tersebut disampaikan kepada Kerajaan Belanda. Akhirnya, pada tanggal 9 Desember 1826, Raja Belanda, Willem I kemudian menerbitkan surat kuasa kepada pemerintah kolonial di Batavia untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus dengan berjangka waktu atau yang lazim disebut oktroi. Dengan surat kuasa dari Kerajaan Belanda yaitu, Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menerbitkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan mengenai pembentukan bank sentral yang kelak dinamakan De Javasche Bank (DJB).
Riwayat De Javasche Bank yang berdiri pada tanggal 24 Januari 1828 dengan status oktroi yang bisa diperpanjang. DJB menjadi N.V. atau Naamlooze Vennootschap atau perusahaan baru sejak tanggal 22 Maret 1881 setelah dilegalisasi oleh Notaris Derk Bodde di Batavia. Kendati sudah menjadi N.V., DJB masih menjalankan oktroi sampai pada tanggal 31 Maret 1922, sebelum akhirnya memperoleh badan hukum (DJB Wet). Sejak saat itulah, DJB berubah status menjadi bankwet atau bank yang sudah berbadan hukum. Dengan keputusan meningkatkan status DJB menjadi N.V. diambil karena bank sentral ini dianggap berhasil merumuskan juga menerapkan berbagai kebijakan baru yang berdampak positif bagi kemajuan perbankan di Hindia Belanda kala itu.
Dan DJB selanjutnya berkembang pesat. Sebanyak 16 cabang baru telah dibuka, antara lain berada di Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, sampai Manado. Bahkan, DJB juga memiliki kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.
Baca juga : Sejarah Kota Medan
Perkembangan Bank Indonesia
Seiring kemenangan Jepang atas Belanda dalam Perang Dunia Kedua pada tahun 1942, riwayat panjang DJB pun berakhir. Dai Nippon yang mengambil alih wilayah Indonesia, namun, sebelum itu terjadi, ada cadangan emas dan aset berharga DJB yang telah dipindahkan ke Australia dan Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, pasukan Jepang melucuti seluruh aset yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda, termasuk dalam sektor perbankan. Pimpinan militer Dai Nippon di Jawa kemudian mengeluarkan peraturan untuk melikuidasi seluruh bank milik Belanda, Inggris, juga beberapa bank kepunyaan pengusaha Tionghoa, dan diambil-alih.
Baca juga : Sejarah Kota Yogyakarta
Dai Nippon kemudian mendirikan bank sentral bernama Nanpo Kaihatsu Ginko yang salah satu tugasnya adalah mengedarkan mata uang yang dicetak di Jepang. Nanpo Kaihatsu Ginko juga menjadi bank sirkulasi untuk wilayah koloni Jepang di kawasan Asia Tenggara. Antara BI dan BNI Pada tahun 1945, Jepang kalah dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Bangsa Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, tidak lama berselang, pasukan Belanda datang kembali dengan membonceng tentara Sekutu. Belanda rupanya ingin berkuasa kembali di Indonesia. Selama era perang mempertahankan kemerdekaan, Belanda merebut sejumlah bank yang dibuka pada masa Jepang, termasuk salah satunya adalah Nanpo Kaihatsu Ginko yang dikembalikan menjadi De Javasche Bank.
Setelah Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947, dan DJB berhasil membuka kembali kantor cabangnya di berbagai daerah. Di sisi lain, pemerintah RI juga mengeluarkan undang-undang darurat mengenai pendirian Bank Nasional Indonesia (BNI) pada tanggal 5 Juli 1946. Dimana berdirinya BNI didahului dengan pembentukan suatu yayasan pada 1945 atau tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan.
Baca juga : Kerajaan Islam Diindonesia
Yayasan yang dimaksud yaitu Yayasan Bank Indonesia. Pendirian BNI pada 5 Juli 1946 dilanjutkan dengan peleburan yayasan tersebut. Momentum inilah yang menjadi patokan dijadikannya sebagai Hari Bank Indonesia dan selanjutnya diperingati setiap tanggal 5 Juli. Namun, maksud dari pemerintah RI yang ingin menjadikan BNI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral terhambat karena adanya situasi darurat perang yang terjadi saat itu, ditambah masih sulitnya memperoleh pengakuan dari negara lain. Agresi Militer Belanda II pada 18 Desember 1948 memicu Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota RI.
Serangan massal ini akhirnya membuka mata dunia bahwa Indonesia masih eksis meskipun beberapa pemimpin pemerintahan RI ditawan oleh pihak Belanda. Namun desakan dari Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dan dunia internasional membuat Belanda terpaksa bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Rangkaian panjang dari KMB akhirnya disepakati pada 2 November 1949. Selain menghasilkan pengakuan akan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, KMB juga menetapkan bahwa De Javasche Bank akan menjadi bank sentral bagi negara Indonesia. Adapun BNI, dialihkan fungsinya sebagai bank pembangunan. Maka, pada 10 April 1953, parlemen menyetujui usulan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI). Dan Presiden Sukarno kemudian menerbitkan surat keputusan mengenai peresmian BI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral Indonesia pada 10 April 1953 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1953.
BI kemudian akhirnya memiliki tugas serta wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan dalam hal moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan negara Indonesia. BI juga menjadi satu – satunya lembaga yang berhak mencetak dan mengedarkan mata uang. Sementara itu, BNI yang dibentuk dengan maksud awal sebagai bank sentral, namun gagal dan dialihkan perannya menjadi bank pembangunan, dan ditetapkan sebagai bank umum sejak tahun 1955. Sekarang, bank tertua di Indonesia tersebut sudah beralih dan berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Baca juga : Pengertian Negara
Dengan demikian, penjelasan mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah Bank Indonesia yang bisa kamu ketahui. Semoga menjadi manfaat dan pengetahuan.